Nyeret Sebuah kebiasaan Pemakaian Narkoba pada Masyarakat Jawa & Tionghwa Tempo Doeloe (Sejarah Penggunaan Narkoba di Indonesia)

By , March 14, 2013 6:43 am

Oleh:
Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D. Psikolog
Unit Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba
Universitas Gadjah Mada
(UP2N-UGM)

Kebiasaan nyandu, madat atau yang lain tidak hanya dilakukan oleh orang pada zaman sekarang, akan tetapi kebiasaan ini telah dilakukan sejak zaman dahulu khususnya pada masa penjajahan Belanda. Hal ini tampak pada beberapa orang yang telah mengenal kebiasaan ini dengan istilah nyeret atau nyandu (barangkali karena mereka menggunakan candu yang  sifarnya sangat menyandu). Sehingga tidaklah aneh apabila dalam ajaran Jawa ada larangan atau pantangan untuk tidak melakukan “Mo Limo” (larangan atau pantangan untuk tidak melakukan 5 M), yang salah satunya  adalah Madat atau nyeret ini.
Dahulu tujuan nyeret juga dilakukan untuk tidak hanya untuk sekedar menahan kantuk, sebagai contoh seorang dalang yang akan melakukan pertunjukan wayang semalam suntuh; namun bagi kelompok masyarakat lain juga menjadi bagian dari katarsis (melarikan diri dari masalah), rekreasi atau lifestyle. Sebuah sumber yang terpercaya menjelaskan bahwa pada jaman dahulu ada tempat khusus yang disediakan oleh partikelir atau masyarakat umum yang digunakan sebagai tempat untuk menikmati candu, mungkin sama seperti shop gallery yang terjadi di Belanda saat ini.  Di dalam tempat itu orang bisa membeli candu dan menikmati ditempat itu pula. Pada tempat persewaan disediakan tempat tidur (amben), bedudan dan juga air minum teh dengan teko endhog dan gula batu. Mereka bermalas-malan sambil menikmati candu yang konon kabarnya saat itu banyak berasal dari daratan Cina.Kisah lain menyebutkan adanya seorang pengusaha Tionghwa yang biasa nyeret (biasanya bagi orang kaya mereka memiliki ruang khusus untuk nyeret), pada suatu hari harus pergi ke Surabaya untuk urusan bisnis selama 3 hari. Ketika pengusaha tadi kembali ke Yogya dan melakukan kebiasaan lamanya :nyeret: di kamar pribadinya, ia terkejut, karena ia mendapati ada puluhan cicak yang semaput (sakau). Rupanya asap yang berterbangan ketika ia nyeret telah dihisap cecak hingga cecak itu hingga lama kelamaan memberikan effek ketergantungan dan ketagihan.

Opium yang bentuknya seperti klelet (bentuknya seperti ampas sisa merokok yang ada pada pipa atau seperti lem yang berwarna coklat kehitaman). Karena harga candu ini mahal maka pemakaiannya dicampur dengan daun awar-awar. Tumbuhan ini sejenis rerumputan yang dapat ditemukan di pedesaan dan biasanya tumbuh di pinggir sungai atau sumur. Ciri dari daun awar-awar tampaknya tidak beda jauh dengan daun pace, Buahnya ada sedikit berlubang, warna permukaannya agak keputih-putihan, dan disebut luwing.Dalam prakyek pengobatan tradisional daun awar-awar ini dilumatkan dengan minyak kelapa dan dioleskan keperut dapat digunakan untuk obat sakit perut.

Adapun penggunaannya yaitu dicampurkan pada opium atau candu sebelum digunakan untuk nyeret. Proses sederhana pemakaian yaitu daun awar-awar diiris kecil-kecil layaknya irisan tembakau atau myungkin lebih lembut kemudian dijemur hingga agak kering atau layu. Setelah itu irisan tersebut dicampuri  pada candu atau opium kemudian digelintiri (dibentuk bulat) kecil-kecil sebesar klentheng (biji kapuk). Setelah berupa glintiran lalu dimasukkan ke dalam bedudan (alat untuk nyeret) kemudian disulut selanjutnya untuk dihisap. Serkali nyeret satu gelintir, inipun terkadang dilakukan oleh beberapa orang. Tingkat ketagihan juga amat tinggi, sehingga ada sumber yang menceriterakan bahwa pamannya (mereka sebut sebagai mbah Singo) meninggal hingga kurus kering karena korban candu.

Memang harga opium terbilang mahal, akan tetapi jenis ini tergolong sedikit lebih murah jika dibanding dengan harga jenis “candu”  yang lain. Bahan nyeret yang bentuknya seperti lem yang sudah mengeras ini biasanya dibungkus kertas grenjeng (kertas berwarna keemasan dan sedikit keras) dalam bentuk implingan (pipih dan kecil). Dahulu harga perimpling mahal namun fluktuasi harga relative tetap, tidak seperti saat ini dimana ada operasi gencar dilakukan oleh polisi harga semakin naik. Pada waktu itu implingan tidak dijual disembarang toko, akan tetapi hanya penjual tertentu yang menyediakan bahab nyeret ini, umumnya keturunan Cina dan tergolong orang kaya. Disamping itu, konsumen juga terbatas pada kalangan tertentu mengingat harga candu yang sangat mahal.

Menurut sebuah sumber, kini opium tidak hanya digunakan untuk menyandu tetapi juga memiliki fungsi baru yaitu untuk memanggil roh dalam pengobatan supranatural. Daklam pengobatan ini setelah pasien kemasukan yang roh yang dipanggil dengan candu dioperasi, ia tidak merasa dakit. Untuk peredarannya, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ahli supranatural di salah satu daerah di Jawa Tengah yang harus membeli barang itu di daerah kecamatan W, Kabupaten B, Jawa  Timur. Harga opium ini sekarang kira-kira mencapai Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per bungkus/impling (ukuran dalam gram belum jelas), dengan peredaran yang sangat terbatas.

Jenis yang lain yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa klas menengah ke bawah adalah mengkonsumsi “kecubung” yang khusus berwarna ungu. Orangtua pada jaman dahulu bahkan selalu meminta anaknya untuk selalu mencuci tangan setelah memegang daun apalagi biji kecubung tersebut.

(Bahan ini dikumpulkan dari hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap 4 orang pria wanita, Jawa-Tionghwa, Usia 60 tahun – 78 tahun)

Unduh berkas: Nyeret

Panorama Theme by Themocracy